Jogja by Sikil

TENGAH hari, saya tiba di kantor Fakultas Psikologi Ubaya. Menyerahkan revisi akhir skripsi–sebagaimana diminta saat pendadaran. Purna sudah! Lega! Kini mata 👀 saya tertuju pada Jogja.

Saya pulang ke kos dan berkemas. Pada malamnya, travel Surabaya – Yogyakarta datang menjemput. Dan, saya menempuh perjalanan 8-9 jam menuju arah yang belum saya kenal.

Saya orang yang sulit tidur dalam perjalanan–terus terjaga sepanjang malam.

Cahaya pagi perlahan menyibak gelap saat mobil memasuki Jogja. Seluruh penumpang telah diantarkan ketika saya turun di Kotabaru–(calon) kantor saya.

Seseorang mempersilakan naik ke lantai dua. “Ini Mas Khun yang sering nulis, toh?” ujarnya dengan logat Jogja kental. Ia menyebut nama-nama media. Termasuk majalah Anita Cemerlang.

Jarum jam meninggi. Saya segera mandi dan masuk kerja di lantai dasar.

Penat, tetapi saya cukup kuat. Bukankah itu yang terjadi bila Anda masuk kerja di hari pertama saat tanggung jawab Anda sesuai passion Anda.

Di Jogja, saya tak punya keluarga, pun kenalan, pun teman. Pada akhirnya, saya mengekos di Jalan Pakuningratan. Dan, mulailah hari-hari bertema 🚶 Jogja by Sikil.

Untuk ke kantor, saya jalan kaki. Di rentang jarak itu, saya menemukan “rest area” untuk sarapan. Dekat banget dengan jembatan Gondolayu.

Oya, warung di Jogja unik–setidak saat itu. Ada dua tingkatan jualan. Kasta sayur-mayur dan kasta lauk-pauk. Saban sarapan, saya di kasta pertama. Sesekali mengakhirinya dengan setangkai pisang. Sampai suatu ketika si ibu warung jatuh iba. Ia menambahkan lauk ke piring saya.

Kemewahan makan apa yang bisa saya peroleh dengan uang take home pay satu bulan Rp225.000? 🤔

Saya membawa pulang kerjaan ke kos–untuk membunuh waktu. Jika sedang tidak ingin full lembur, saya jalan-jalan, by sikil, dengan dua rute langganan.

Jalur pertama, saya menggerakkan kaki ke Malioboro. Manapaki Jalan Mangkubumi (nama saat itu), melewati ramai penjual barang bekas di trotoar–di kemudian hari mereka pindah ke Pasar Klithikan Pakuncen.

Saya jalan hingga ujung, dan kembali. Sesekali masuk ke Ramai untuk membeli keperluan sesehari.

Pada masa itu, Malioboro Mal mungkin masih didiskusikan pembangunannya. Sementara di Jalan Mangkubumi, bioskop Ratih masih berjaya.

Jalur kedua, berbelok ke kiri–orang Jogja bilang ke Timur. Menjelang kantor, saya lurus, lalu berbelok ke kiri. Di Jalan Cik Di Tiro, terdapat toko buku Gramedia. Di sanalah saya mencuci mata sepuasnya. Sesekali, membeli juga.

Gramedia di sana, belumlah rapi. Mirip Gramedia Jalan Basuki Rakhmat di Surabaya, yang juga sering saya kunjungi. Kelak di kemudian hari, usai dibangun, Gramedia pun pindah ke lokasi yang Anda temui saat ini.

Itulah kisah ringkas “jalan kaki” yang mengisi periode awal saya di Jogja. Kisah kamu gimana? Cerita dong! 💙

6 thoughts on “Jogja by Sikil

  1. Gramedia skr yg di Malioboro udh kereeen banget ya mas. Awal aku ke Jogja, waktu itu outing kantor . Nginep di salah satu hotel Malioboro, shantika premier. Trus aku Ama temen2 yg ada kliling malam, cari makan, muterin Malioboro naik becak, samoe nyari oseng mercon yu Narti yg wkt itu nge-hits banget :D.

    Lumayan berkesan sih, makanya aku msh slalu balik ke Jogja tiap mudik ke solo. Salah satu kota yg ngangenin, makanannya, wisata alamnya, ya Jogja ini.

    1. Pusatnya yang di pojokan Jalan Sudirman. Sekarang malah sudah direnovasi jadi Gramedia yang modern. Interiornya cantik dan jarak antar-rak lebih luas.

      Kalau yang Malioboro sejak pandemi belum pernah ke sana lagi 🙁

    1. Sekitar tahun 1993-1994 gitu. Saat itu belum ngerti tentang UMR 😁 Pokoknya “dilamar” untuk mengisi sebuah posisi, sesuai passion, ya oke deh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *